ADONARAindonesia

"Hanya hidup demi sesama yang membuat kehidupan menjadi lebih bermakna"
(Albert Einstein)

..........SALAM DAMAI DALAM KERAGAMAN..........

Kamis, 22 November 2007

coratcoret


Integrasi Bangsa dan Konsistensi Kita


Beberapa hari lalu, saya membaca kliping koran milik teman saya. Saya terkesima ketika membaca pernyataan Gus Dur yang disampaikan 22 tahun silam dalam sebuah forum pelatihan kepemimpinan NU Jatim, di Surabaya (Kompas, 13/11/1985).

Gus Dur menyatakan begini: “Kalau negara ini negara Pancasila, siapapun yang mampu memimpin suatu lembaga atau instansi, tidak perlu jadi masalah. Pendekatannya pada prestasi dan kemampuan, entah dia itu orang Islam atau orang Kristen. Ini mestinya!”

Pernyataan di atas, menurut saya, masih relevan dengan perilaku bangsa kita saat ini. Persoalan diskriminasi agama yang disinggung Gus Dur hanyalah satu diantara berbagai kasus diskriminasi lainnya seperti etnik, suku, golongan, dan ras yang masih tumbuh subur di negeri ini. Dan parahnya, isu ini seringkali menjadi amunisi politik segelintir oknum untuk memprovokasi massa.

Indonesia yang telah berusia 62 tahun ini dibangun atas paham kebangsaan. Yang menjadi kriteria pokok siapa orang Indonesia bukanlah suku, keturunan, atau agamanya, tetapi kebangsaannya sebagai orang Indonesia. Ada yang sengaja lupa akan hal ini.

Jika misalnya sebuah negara yang dasarnya suku atau ras, maka yang bukan dari suku dan ras itu bukanlah warga negara yang penuh. Demikian pula, jika dasarnya adalah agama. Maka orang yang tidak beragama sama, juga bukan warga negara. Jika toh diterima juga sebagai warga negara, ia adalah warga negara yang dibedakan.

Indonesia yang paham dasarnya adalah kebangsaan, setiap orang Indonesia, setiap warga negara Indonesia adalah orang Indonesia yang sama penuh kewarganegaraannya dan sama penuh martabatnya sebagai manusia Indonesia. Tidak boleh dibeda-bedakan. Entah itu mayoritas atau minoritas. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menegaskan itu.

Sayangnya, apa yang kita saksikan sekarang justru bertolak belakang. Masih terjadi kecendrungan sentripetal dalam bentuk pergerakan daerah, gejolak separatis, dan gejolak hasrat menggantikan paham dasar negara. Ketika dijajah bangsa asing, kita semua berjuang bersama. Setelah merdeka, sikap egoisme dimunculkan. Ini sama saja berkhianat terhadap para pahlawan dan pendiri bangsa ini.

Sebagai warga negara yang menghargai jasa pahlawannya, perlu memasyarakatkan dan memahamkan secara kreatif, kritis, dan positif apa yang dimaksudkan: Pancasila sebagai asas tunggal untuk perikehidupan berbangsa dan bernegara, berikut implikasi-implikasinya bagi masyarakat, dan juga pemerintah.

Selain itu, perlu mempraktekan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam keseharian kita dengan saling mengenal lebih dekat antar pribadi maupun kelompok yang satu dengan lainnya. Jika Anda orang Jawa, sudah sejauh mana Anda mengenal bangsamu yang di Sumatra, Bali, Flores, Papua, Sulawesi, Ambon, dan lainnya. Jika Anda seorang Kristen, sejauh mana Anda mengenal dan menghargai sesama sebangsa yang non Kristen. Jika Anda seorang perantau, sedekat apa Anda mengenal tetangga dan budaya di lingkungan di mana Anda berada.

Prakarsa ini menjadi tanggung jawab kita untuk terus mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas. Karena, seringkali terjadi, oknum pemerintah dan unsur pimpinan masyarakat atau golongan, bukannya menggerakan masyarakat ke arah kemajuan sesuai paham dasar Pancasila dan kebangsaan, tetapi justru mengeksploitasinya atau menjadikan bahan manuver untuk tujuan-tujuan yang tidak mulia dan memecah-belah keutuhan bangsa. Nah, tugas kita yang masih sadar adalah “menjewer kuping” orang-orang yang tidak konsisten itu.(ansis)

Tidak ada komentar: