ADONARAindonesia

"Hanya hidup demi sesama yang membuat kehidupan menjadi lebih bermakna"
(Albert Einstein)

..........SALAM DAMAI DALAM KERAGAMAN..........

Kamis, 22 November 2007

Ttg Belis

Mas Kawin Gading "yang Tak Pernah Retak"
Tulisan ini pernah dimuat di Kompas (26/9/2006)

Sejumlah tokoh adat dan agama di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, memperkirakan budaya pemberian mas kawin gading gajah suatu saat akan lenyap.

Generasi muda akan meninggalkan adat perkawinan seperti itu karena tidak semua orang memiliki gading dan tidak mudah mendapatkan gading gajah. Jumlah gading yang dipersyaratkan untuk meminang seorang gadis pun tidak sedikit, bisa sampai 10 batang.

Oleh karena itu, tokoh masyarakat Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Laurens Todo Way pekan lalu di Larantuka mengimbau agar semua pihak di Flores Timur, terutama di Adonara, mempertimbangkan kembali budaya pemberian mas kawin gading gajah tersebut.

Harus dipertahankan atau dihapus? Jika dipertahankan, katanya, maka harus ditetapkan dalam suatu musyawarah besar masyarakat Lamaholot dengan tujuan menegakkan kembali nama besar mas kawin gading.

Namun, jika sebagian besar masyarakat adat Flores Timur tidak menghendaki lagi kewajiban melamar dengan membawa mas kawin gading, maka budaya itu tentunya dihapus.

Pendapat itu tentunya tidak muncul begitu saja. Dalam 10 tahun terakhir ini praktik pemberian mas kawin gading makin pudar. Sebagian masyarakat mempraktikkannya, tetapi sebagian lainnya tidak.

"Kadang-kadang dalam kesepakatan adat antara keluarga pria dan wanita, pihak pria diwajibkan menyerahkan 10 batang gading kepada keluarga wanita sebelum menikah resmi secara agama. Tetapi, karena keluarga pria tidak sanggup mengadakan gading sebanyak itu, pernikahan pun ditunda atau dilaksanakan tanpa penyerahan sebatang gading pun," kata Todo.

Penentuan berapa batang gading yang diperlukan untuk meminang seorang anak gadis memang tidak jelas. Versi suku Corebima di Kiwangona Adonara Timur, untuk melamar anak wanita pertama (tertua), calon pengantin pria harus menyiapkan mas kawin 10 batang gading gajah.

Bagi anak wanita kedua, jumlah gading yang harus disiapkan tujuh batang, sedangkan bagi anak wanita ketiga dan anak wanita keempat masing-masing lima dan tiga batang. Namun, kebanyakan masyarakat selalu hormat pada kesepakatan kedua pihak saat upacara koda pake, yakni pertemuan keluarga pria dan wanita dalam kaitan penentuan jumlah gading gajah yang harus disiapkan sebagai mas kawin.

Pembahasan mengenai gading yang harus dipersiapkan sebagai mas kawin masih merupakan acara adat yang penting di Adonara khususnya dan Flores Timur serta Lembata pada umumnya.

Sebuah pertemuan adat perkawinan tidak akan seru tanpa membahas masalah gading. Dalam proses tawar-menawar gading itu, pihak keluarga wanita biasanya cenderung emosional dan berkuasa penuh atas seluruh pembicaraan. Pihak keluarga pria harus hati-hati mengeluarkan pernyataan. Jika ada kalimat yang salah diucapkan, bisa-bisa mereka kena denda—berupa gading atau binatang sesuai dengan tuntutan pihak keluarga wanita, di luar mas kawin.

Tidak direalisasikan

Belakangan ini gading hanya dibicarakan selama proses adat, tetapi tidak direalisasikan. Padahal, pembicaraan tentang itu dilakukan untuk menempatkan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, mulia, dan terhormat. Jika gading hanya dibicarakan tanpa realisasi, calon istri bisa dianggap remeh oleh sang pria. Pria akan menilai perkawinan merupakan sesuatu yang biasa dan ia pun bisa berselingkuh.

Rafael Lamanepa, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Flores Timur, berpendapat mas kawin gading tidak boleh dihapus. Apalagi, di Lamaholot, mas kawin gading masih memiliki posisi sentral. Belum ada warga suku Lamaholot, khususnya Adonara, yang meminta uang ketika anak gadisnya dilamar pria Adonara. Meski hanya disimpan di rumah, gading memiliki nilai sosial yang tinggi. Rumah yang dihiasi gading dinilai rumah bergengsi, berkhasiat, dan rumah berezeki.

"Uang miliaran rupiah di bank tidak mampu mengimbangi status sosial keluarga itu, hanya karena sebatang gading yang tersimpan di rumah. Gading memiliki nilai mistis, magis, dan karena itu sangat berpengaruh terhadap hasil keturunan dari pasangan suami istri. Karena itu, sebuah perkawinan harus dilengkapi dengan pemberian gading sebagai mas kawin," papar Lamanepa.

Di beberapa tempat di Pulau Adonara, sebatang gading sering diperlakukan istimewa, luar biasa, karena dinilai memiliki kekuatan tertentu. Misalnya, dipercaya bisa berjalan pada saat bulan purnama, menggandakan kekayaan keluarga, dan mampu menyembuhkan orang sakit parah. Gading gajah dimandikan lalu air cucian itu diminumkan kepada orang yang sakit.

Saat ini memang tidak semua perempuan Adonara setuju dengan mas kawin gading. Sebagian dari mereka lebih suka kalau mas kawin diwujudkan dalam bentuk uang mengingat gading semakin sulit didapatkan, di samping harganya mahal dan dinilai sangat membebani masa depan keluarga.

Ny Adelheid Benga (35) dari Desa Mewet, Adonara Barat, Flores Timur, misalnya, menyebutkan, dari 10 batang gading yang diputuskan dalam proses adat koda pake pada tahun 1995, yang terpenuhi baru satu batang. Itu pun diserahkan pada tahun 2003 dan didapatkan dengan susah payah.

"Suami saya beli gading itu dari Waiwerang dengan harga Rp 11 juta, tetapi uang tersebut kami pinjam dari tetangga. Saat itu pihak pemilik gading minta uang Rp 11 juta diserahkan secara tunai, baru gading boleh keluar dari rumah. Kami belum punya uang sebesar itu, akhirnya pinjam dari tetangga Rp 5 juta untuk menggenapi simpanan yang ada," tuturnya.

Benga melangsungkan "kawin lari" dengan Rensus pada tahun 1995. Ketika itu keduanya masih duduk di SMA Waiwerang, Adonara Timur. Meskipun mereka kemudian hidup bersama sebagai suami istri, keluarga Rensus belum memberi mas kawin.

Setelah delapan tahun anak pertama mereka lahir, keluarga Rensus menyerahkan mas kawin berupa satu batang gading, bala belee, yang nilainya Rp 11 juta.

Jika selama pernikahan Rensus dan Benga tidak meraih kesepuluh gading tersebut, berarti pemenuhan sembilan gading lainnya akan dibebankan kepada anak laki-laki pertama mereka. Jika anak laki-laki pertama meninggal dunia, tanggung jawab itu dialihkan kepada anak laki-laki kedua.

Karena itu, tanggung jawab anak laki-laki mereka itu semakin berat sebab suatu saat anak itu juga akan menikah dan harus memberi mas kawin kepada pasangannya. "Kondisi ini tentu amat membebani keluarga besar Rensus. Bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab atas kesepakatan adat mas kawin tersebut," papar Nasu Kopong.

Untuk meringankan utang mas kawin, sering dalam masyarakat Lamaholot satu atau dua anak perempuan hasil perkawinan Benga dan Rensus diserahkan kepada keluarga besar Benga. Anak perempuan itu akan menjadi hak penuh orangtua Benga.

Sampai tahun 1960-an satu batang gading dihargai dengan satu anak perempuan. Jika Rensus memiliki 2-3 saudara perempuan, misalnya, saudaranya itu dapat diserahkan kepada keluarga Benga. Di sana mereka dijadikan sebagai "pekerja".

Utang mas kawin itu tidak hapus meski sang istri meninggal terlebih dahulu dari suaminya. Tidak ada anggota keluarga yang bebas dari mas kawin. Tak heran jika utang mas kawin dari nenek dan kakek masih ditanggung para anak, cucu, atau cicit.

Tak heran bila makin hari makin banyak pria asal Lamaholot yang menikah dengan perempuan dari luar daerah tersebut. Misalnya, menikah dengan perempuan asal Jawa atau lainnya. Itulah budaya yang hingga kini masih terus dibahas eksistensinya(*)K.K.Ama

1 komentar:

tingtungtinah mengatakan...

belis jgn sampai punah walaupun jaman uda berubah jadilah diri kalian sendiri dng segala keragamanya,maju terus pantang mundur.aku bangga ma orang2 adonara dan suatu kehormatan apabila bs berteman ma kalian.